24/03/11



“Masa remaja adalah masa transisi diri periode anak ke dewasa. Apabila kita perhatikan dan kita ikuti pertumbuhan anak sejak lahir sampai besar, akan didapatilah bahwa anak itu tumbuh secara berangsur-angsur bersamaan dengan bertambahnya umur. Demikian pula halnya dengan pertumbuhan identitas/konsep diri juga berkembang seiring dengan bertambahnya berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya baik dari pendidikan keluarga sekolah maupun dari masyarakat dimana ia tinggal”

Ciri-ciri Masa Remaja:

Masa Remaja sebagai Periode yang Penting
      Perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Masa remaja merupakan periode yang penting karena masa remaja memiliki dampak baik untuk jangka waktu yang singkat dan jangka waktu panjang secara fisik dan psikologis untuk membentuk perilaku dan perkembangan mental remaja. Sehingga pentingnya membentuk perilaku dan mental yang baik pada masa remaja.

Masa Remaja sebagai Periode Peralihan
      Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak, sehingga perilaku yang dimunculkan oleh remaja tidak terlepas dari perilaku yang dilakukan pada masa anak-anak, namun remaja tetap diajarkan untuk menjadi orang dewasa agar remaja dapat siap menghadapi masa selanjutnya.

Masa Remaja sebagai Periode Perubahan
      Perubahan yang terjadi pada masa remaja berupa sikap dan perilaku sejajar dengan perubahan fisik. Terdapat lima perubahan yang dapat terjadi pada masa remaja yang bersifat universal.
a.       Perubahan yang pertama, yaitu semakin meningginya emosi dimana intensitasnya bergantung pada perubahan kondisi fisik dan psikologis yang terjadi.
b.       Perubahan yang kedua, yaitu perubahan pada tubuh yang dapat pada perubahan fisik dari masa anak-anak ke remaja.
c.       Ketiga, perubahan minat dan pola pikir sehingga pada remaja sudah mulai memikirkan permasalahan yang mereka hadapi sendiri.
d.       Keempat, perubahan nilai-nilai, segala sesuatu yang dulunya dianggap penting pada masa kanak-kanak sekarang sudah dianggap sebagai hal yang tidak perlu dan penting lagi.
e.       Kelima, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan. Remaja menginginkan kebebasan terhadap dirinya, namun mereka takut mengambil resiko untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang mereka lakukan.

Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah
      Sepanjang masa anak-anak segala masalah diselesaikan orang tua atau guru. Remaja merasa mandiri sehingga tidak perlu bantuan orang lain, sehingga banyak kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan masalah karena belum berpengalaman. Setiap tahapan perkembangan menghadapi masalahnya masing-masing. Termaksud juga masa remaja yang memiliki masalah dan sulit untuk diselesaikan. Biasanya, masalah-masalah tersebut sulit untuk diselesaikan karena remaja tidak memiliki pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi karena pada masa kanak-kanak, masalah yang mereka hadapi seringkali diselesaikan oleh orang lain, seperti guru ataupun orangtuanya. Selain itu, remaja yang sangat percaya diri untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak meminta saran dari orang yang lebih berpengalaman akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan dengan apa yang mereka yakini sehingga kebanyakan remaja mendapatkan bahwa penyelesaian masalahnya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Masa Mencari Identitas
      Pada masa ini, remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Erikson (Hurlock, 2004) mengemukakan bahwa masa remaja berada pada tahapan identitas vs krisis identitas. Dimana remaja berusaha mencari identitas dirinya dalam lingkungan masyarakat. Identitas yang dicari remaja seperti siapakah dirinya atau lebih sering kita kenal dengan pencarian jati diri, bagaimana remaja kedepannya, hingga arah kehidupan yang akan mereka jalani, sehingga remaja akan mendapatkan peran yang baru dalam kehidupannya.

Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
      Anggapan tentang remaja yang cenderung negatif membuat orang dewasa yang bertugas untuk membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Anggapan yang berkembang membuat remaja dianggap sebagai masa yang buruk.

Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik
      Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita. Remaja melihat sesuatu berdasarkan apa yang mereka inginkan dan harapkan, tidak sesuai dengan realitas yang ada. Mereka menganggap segala sesuatunya harus sesuai dengan yang mereka inginkan, namun mereka cenderung tidak memperhatikan keadaan sebenarnya, sehingga jika sesuatu yang mereka harapkan tidak sesuai dengan yang mereka inginkan, maka mereka dapat merasa kecewa dengan hal tersebut.

Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa
      Setelah mengakhiri masa remaja maka seseorang akan diperhadapkan pada masa dewasa. Masa remaja merupakan awal untuk menghadapi masa remaja. Sehingga remaja berusaha untuk meninggalkan citra mereka pada masa remaja yang cenderung kekanak-kanakan dan melakukan perilaku yang dianggap dapat mencerminkan perilaku orang dewasa seperti merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, hingga melakukan seks bebas.

TERIMA KASIH
Sumber:
Harlock, E. B. 2004. Psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan) 5th ed. Jakarta: Erlangga

22/03/11

Psikologi Indigenous


    
PENDEKATAN TRANSAKSIONAL TERHADAP PSIKOLOGI INDIGENOUS

“Indigeous Psychologies is scientific study of human behavior (or the mind) that is native, that is not transported from other regions and that is designed for is people”

      Psikologi indigenous merupakan cabang dari ilmu psikologi yang mengkaji mengenai tingkah laku asli individu di dalam suatu daerah, dan tidak diperoleh dari daerah lain yang sengaja dirancang hanya untuk orang-orang yang berada dalam tempat / daerah tersebut.
      Pendekatan transaksional merupakan pendekatan yang dilakukan dengan melihat perilaku manusia dengan tujuan tertentu yang dimana tujuan tersebut hanya ditetapkan untuk diri mereka sendiri. Keterampilan-keterampilan tertentu mereka kembangkan dengan keyakinan bahwa perilaku dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Dalam hal ini, orang-orang cenderung termotivasi untuk mengendalikan hidup mereka sendiri untuk memperoleh hasil yang diinginkan dan menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya berlaku untuk tiap-tiap individu, juga berlaku dalam kelompok. Dalam pendekatan ini, kualitas subjektif (misalnya niat, keyakinan, makna, dan tujuan) adalah suatu hubungan sebab akibat yang menghubungkan perilaku dengan lingkungan.
      Mempelajari manusia yang pada dasarnya berbeda satu sama lain dalam suatu tempat merupakan suatu hal yang kompleks, dinamis, dan generatif. Oleh karena itu, diperlukan beberapa pendekatan untuk dapat mengkajinya. Pendekatan transaksional merupakan salah satu pendekatan deskriptif  yang dimana bertujuan untuk memahami bagaimana individu tesebut berfungsi dalam konteks kebudayaan mereka. Dalam pendekatan ini mengakui dan menghargai pentingnya makna, maksud, dan tujuan dari tiap-tiap perilaku individu
      Pendekatan transaksional terhadap psikologi indigenous dapat dilihat dari individu yang menempati suatu tempat atau daerah maupun suatu kebudayaan. Perilaku asli individu dalam suatu daerah dapat terlihat dengan menggunakan pendekatan transaksional ini. Perilaku asli dari tiap individu dapat diketahui dengan mengetahui tujuan-tujuan tertentu dari individu tersebut. Dengan tujuan tersebut, maka individu akan mengembangkan berbagai keterampilan dan memotivasi dirinya sendiri untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dengan dilatarbelakangi oleh kebudayaan dan tujuan yang sama, individu akan membentuk suatu model perilaku yang memiliki kekhasan yang hanya dimiliki oleh kebudayaannya tersebut. model perilaku inilah yang kemudian membentuk individu-individu selanjutnya yang diajarkan dari generasi ke generasi. Mempelajari tentang perilaku individu dalam suatu kebudayaan tertentu, harus diketahui terlebih dahulu motif perilaku dan persepsi yang kemudian akan terlihat dengan bagaimana cara individu tersebut mengambil keputusan-keputusan terhadap suatu masalah maupun keputusan yang mengarahkan untuk bertindak.

TERIMA KASIH

Sumber:
Kim, U., Yang, K., & Hwang, K. 2006. Indigenous and nCultural Psychology. Understanding people in context. New York: Springer
Setiono, kusdwiratri. Psikologi Indigenous dan Indigenisasi sebagai Acuan Penelitian dan Terapan dalam Psikologi Perkembangan di Indonesia. 2010. Paper Universitas Padjajaran, Bandung.

21/03/11

Psikologi Gender......

Psikoanalisis & Gender

“it is during the third stage of psychosexual development that freud differentiate the development of boys and girls. boys resolve the oedipus stage by identifying with the father because of castration anxiety. girls go through the electra stage and then identify with the mother, but develop penis envs and a weak superego”

      Freud menekankan bahwa lanjutan kritis dari drama psikoseksual yang tengah berlangsung adalah penyelesaian sang anak atas apa yang disebut sebagai kompleks oedipus dan kastrasi. Laki-laki memiliki penis dan perempuan tidak memiliki penis, mempengaruhi cara laki-laki dan perempuan meneruskan penyelesaian kompleks pada tahapan falik.
     Psikoanalisis & Gender percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara pikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti tahapan oedipal dan kompleks oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik daripada femininitas. Feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupakan campuran sifat-sifat positif feminin dan maskulin.
      Menurut Freud, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual yang jelas; dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia mengatasi tahapan ini. Maskulinitas dan femininitas, dengan perkataan lain, adalah produk dari pendewasaan seksual. Dalam buku Three Contributions to the Theory of Sexuality, Freud mendiskusikan tahapan seksual pada masa bayi. Freud berargumentasi bahwa anak-anak sama sekali bukan manusia tanpa ketertarikan seksual. Ia mengklaim bahwa seksualitas anak-anak adalah “penyimpangan polimorfus”, bagi anak-anak, keseluruhan tubuh mereka, terutama lubang-lubang di dalam tubuhnya dan anggota tubuhnya, adalah ranah seksual. Anak-anak berkembang dari tipe seksualitas “yang menyimpang” menjadi seksualitas genital heteroseksual yang “normal” melalui beberapa tahapan, yaitu oral, anal, falik, latensi, dan genital.
      Feminis gender cenderung berpendapat bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau penjelasan kultural atas maskulinitas laki-laki dan femininitas perempuan. Mereka menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan (kelembutan, kesederhanaan, rasa malu, sifat mendukung, empati, kepedulian, kehati-hatian, sifat merawat, intuisi, sensitivitas, dan ketidakegoisan) secara moral lebih baik daripada kelebihan nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki (kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, rasionalitas, dan kendali emosi). Feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada femininitas, dan laki-laki harus melepaskan bentuk ekstrim dari maskulinitas. Etika kepedulian (ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan (ethics of justice) maskulin.

“Psikoanalisis memberi pokok pikiran bahwa identitas gender & perilaku individu berasal dari pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memahami identitas gender dari tiap individu sebagai orang dewasa atau usia manapun dilihat dari sejara kehidupannya. Biasanya anak-anak beridentifikasi secara kuat dengan orang tua yang sama jenisnya , dan identifikasi ini merupakan kekuatan penting dalam perkembangan gender

Social Learning & Gender

“Social Learning theory assumes that boys and girls learn gender role through modeling and imitation of the same sex parent as well as reinforcement for “appropriate” sex role behavior and punishment for “inappropriate” sex role behavior ”
      Teori belajar sosial merumuskan hipotesis bagaimana kondisi lingkungan mempengaruhi perilaku sosial dan kesadaran sosial. Ahli-ahli teori belajar ini percaya bahwa  sex-typed behaviour dipelajari melalui dua proses utama yaitu pengkondisian perangkat dan observasi atau belajar observasional. Pengkondisian merupakan reinforcement  (pujian atau hukuman) yang diberikan terhadap suatu perilaku. Pengkondisian semacam ini melahirkan pemahaman anak terhadap  gender appropriate behavior  dan  gender unappropriate behavior. Belajar observasional merupakan proses pencapaian pola baru dari perilaku dengan cara melihat apa yang dilakukan orang lain terhadap mereka
      Teori Belajar Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model. Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).
      Pembentukan gender disini merupakan hasil dari social learning yang di lakukan oleh anak. Orang tua, lingkungan social dan media masa lah yang membentuk steoreotip gender itu sendiri.
      Teori belajar sosial menunjuk pada adanya kontinum ‘ nature – nurture’ melihat perbedaan dan peran gender sebagai hasil dari lingkungan sosial. Skema gender juga menekankan aspek kognitif dari ‘gender- typing’ dan interkasi antara struktur pemahaman pengetahuan individu dan informasi yang masuk dari lingkungan sekitar. Pada teori belajar sosial kelekatan parental terjadi lebih dahulu kemudian mengarah pada identifikasi dan akhirnya pada terbentuknya identitas gender. Fakta menunjukan bahwa biasanya anak- anak beridentifikasi secara kuat dengan orangtua yang sama jenisnya, dan identifikasi ini merupakan kekuatan penting dalam perkembangan gender. Teori social lerning penting dalam penekanannya pada komponen sosial dan cultural dari perkembangan peran gender- pentingnya peran masyarakat dalam membentuk perilaku yang ‘gender-type’→ pria dan wanita di perlakukan secara berbeda.

“Social Learning memiliki penekanan pada komponen-komponen sosial & cultural dari perkembangan peran gender-pentingnya peranan masyarakat dalam membentuk perilaku yang Gender-Typed yang dimana wanita diperlakukan secara berbeda. Reinforcement diberikan untuk bentuk bentuk perilaku anak-anak, sedangkan imitasi berorientasi pada perolehan peran gender. Perilaku kongkrit dari orang tua mungkin lebih berperan daripada dukungan verbal atau ucapanya”

Perkembangan kognitif & Gender

“Between the ages of 3 & 6, the child develops gender constanty, the idea that gender is fixed and unchanging. Experimental research demonstrates that cognitive classification skill affect gender streotyping  ”

      Teori Perkembangan Kognitif berpandangan bahwa anak menjadi partisipan dalam proses perkembangannya sendiri, artinya secara aktif anak berusaha untuk memperoleh pengetahuan atau informasi tentang peran gender dan kemudian memonitor perilakunya sendiri sesuai dengan norma peran gender yang berlaku. Proses aktif ini menjadi dasar bagi penciptaan stereotip dan naskah peran gender, yang selanjutnya menjadi kerangka kerja untuk mengintepretasikan apa yang dilihatnya dan untuk memprediksi perilaku di masa mendatang.

“Teori Perkembangan Kognitif menekankan bahwa pembelajaran peran gender adalah bagian dari proses belajar yang rasional pada masa kanak-kanak”

Teori Skema Gender

“Gender schma theory develop that are used to process information about the social world. Boys and girls guide their own behavior according to expectations implicit in gender schemas”

      Teori skema gender menyatakan bahwa anak-anak memiliki kesiapan umum untuk mengorganisasikan informasi tentang self atas dasar definisi budaya pada atribut laki-laki dan perempuan yang sesuai.
      Dengan bertambah dewasanya anak, tipe jenis kelamin (sex typing) terjadi ketika mereka memahami stereotip “tepat” yang berhubungan dengan kelaki-lakian dan kepermpuanan dalam budaya mereka. Hal penting dari apa yang dipelajari anak tentang gender adalah berdasarkan observasi terhadap orang tua mereka dan mencoba menjadi seperti mereka.

“Teori Skema Gender menjelaskan penekanan aspek kognisi atau proses intelektual yang mendasari ‘gender typing’, yang dimana dijelaskan sejauh mana anak memproses informasi dalam kaitan dengan gender dan mengubah informasi yang tidak konsisten dengan harapan ‘gender typed’ anak tersebut”

TERIMA KASIH

Sumber:

feminimisme psikoanalisis dan gender

http://winanti5599.blog.esaunggul.ac.id/2010/08/27/feminisme-psikoanalisis-dan-gender/

20/03/11

awal mula sebuah KISAH

mari berdoa......